Oleh : Wiwid Nurwidayati
Akan selalu ada airmata jika menatap birunya ombak yang menerjang karang di antara senja yang sedang memerah. Semakin menyayat ketika senja itu di hiasi hujan dan badai laut yang membuatku ingin memutar waktu. Akankah Tuhan berbaik hati menawarkan padaku untuk memberikan satu permintaan yang akan mengembalikan kepada waktu yang ku inginkan? Namun waktu begitu cepat bergulir, pagi, siang, senja, malam, hujan, pantai dan badai.
Mungkin hanya hobi yang mempertemukan kita. Diantara kesunyian waktu yang berjalan, kita saling berbincang. Jangan pernah lupakan perkenalan kita, pertemuan di titik rapuh. Ketika itu kamu adalah seorang laki-laki perangkai kata yang sempurna menurutku. Sedang aku, kualitas tulisanku sedang sekarat, di bawah garis kemiskinan sastra. Kita bertemu di dunia maya, merangkai cerita yang sama yang mungkin akan terasa membosankan jika di tuliskan dimajalah-majalah beken sekalipun. Dan kita hanya tertawa menikmatinya.
Disuatu senja akhirnya kita bertatap muka. Di antara karang-karang terjal yang tegak berdiri dan rumput hijau yang tumbuh diantaranya. Kamu datang dengan jaket kulit coklatmu. Rambut gondrong yang menyembul di ujung topi rajut wool mu. Tubuhmu terbilang kurus, dengan kulit coklat bersih. Hingga kemudian kita lebih sering menghabiskan akhir minggu di sini. Diantara deburan ombak yang menghempas tebing. Dan lautan biru yang membentang luas di hadapan kita.
Kita duduk di bawah pohon yang daunnya sudah jatuh berguguran, ranting yang mengering. Namun tetap kokoh berdiri di tepi tebing yang curam. Satu-satunya pohon yang berdiri di tepi tebing itu. Aku hanya menatapmu waktu itu tak mengerti. Diantara deburan ombak yang menghantam batu karang kau menunggu ikan kakap melahap umpanmu, oh tidak mungkin ikan barracuda atau ikan cucut, kau habiskan waktu membaca novel itu. Ternyata aku tahu kini, novel itu yang telah membuatmu seperti sekarang. Tulisan yang semakin matang dan ide yang selalu mengalir seperti aliran sungai yang tak berhenti.
“Tulisanmu semakin keren, Kun,” ucapku padamu ketika kau melepaskan ikan cucut yang memakan umpan kailmu.
“Aha, tulisanmu juga semakin matang,” ujarmu ringan tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
Senja mulai beranjak malam. Kita memutuskan untuk pulang. Menuruni jalan tanah setapak perlahan. Jalan setapak dan terjal untuk menuju tempat parkiran. Senja yang menghilang adalah awal cerita denganmu.
##
Kali ini kita tidak menghabiskan waktu di atas tebing curam. Satu malam pada sebuah pertemuan yang kupaksakan. Kau mulai sibuk dengan profesi barumu. Mengajar di sebuah universitas swasta, mengambil kelas pagi dan malam, juga kelas ekstensi di akhir minggu. Tak banyak lagi waktu bagi kita untuk menghirup aroma angin laut yang menyejukkan jiwa.
Kau paksa aku untuk mengikuti jejakmu masuk pada sebuah tenda warung kopi langgananmu.
“Dua kopi Bang,” ucapmu pada pemilik warung.
“Malam ini kau harus belajar minum kopi, disitu akan kau rasakan rasa manis di antara rasa pahit di dalamnya. Sesaplah perlahan, temukan filosopi dari kopi itu sendiri,” ujarmu padaku sebelum aku protes. Kau tahu aku lebih suka dengan susu coklat hangat. Namun mata teduhmu meluruhkan hatiku. Kata-katamu seolah perintah, yang selalu tak bisa ku bantah.
“Kopi itu seperti saat memancing ditengah lautan. Ketika kita melakukannya hanya untuk membahagiakan dan melepaskan hati kita. Mungkin terkadang badai tiba-tiba datang, namun kita tetap merasa bahagia. Diantara jantung kita yang berdegub hebat melihat air laut dan angin yang seolah sedang bersatu padu membangun kekuatan untuk menggoyahkan kebahagiaan kita.
“Ah, filosofimu terlalu tinggi Kun,” ujarku padamu sambil tertawa.
“Benar itu, suatu hari nanti akan ku ajak kau untuk menikmati badai,” ujarmu sebelum kau menyesap tetes terakhir dari segelas kopi hitam itu.
“Benarkah,” mataku berbinar mendengar janjimu. Kau hanya mengangguk.
##
Siang di minggu akhir Desember kita berkemas. Dua joran pancing andalanmu telah kau siapkan. Seember umpan yang berisi hewan laut segar pun telah siap. Ada ikan kembung, ikan tongkol, cumi, udang ataupun gurita. Dua tenda camping tak lupa kita siapkan. Malam ini kita akan menghabiskan malam di tepi lautan sambil memancing. Malam yang pekat tanpa purnama. Katamuu ketika malam pekat tanpa purnama, ikan-ikan besar akan senang memakan umpan kita.
“Aku akan mengajakmu menikmati badai,” ujarmu diantara kesibukanmu mengemas barang.
“Kamu yakin badai datang malam ini?” tanyaku sedikit ketakutan.
“Hahahaha. Hanya intuisi seorang pemanjing. Kita akan bertemu dengan badai. Tetapi biasanya dibulan-bulan Desember atau Januari, atau bulan Maret. Bulan-bulan dimana curah hujan semakin tinggi, badai bisa datang kapan saja.”
“Kita tidak peru berlayar di tengah lautan, bukan?” tanyaku meyakinkan diri.
“Tidak. Aku tak akan membiarkanmu mati ketakutan ditengah lautan,” jawabmu serius.
Bibirku menyunggingkan senyum atas jawabanmu. Aku baru menyadari, kau yang selama ini selalu hemat kata-kata dalam berucap. Kini kau bisa panjang lebar berkata-kata, jika semuanya tentang hobi memancingmu. Melihat barang-barang yang kau siapkan sebelum memancing, aku berdecak kagum. Sepertinya tak pernah ada kata sayang menghabiskan sebagian gajimu untuk memenuhi kebutuhan memancing. Seperti saat menghasilkan tulisan, semua kau persiapkan dengan sebaik-baiknya.
Kita hampir mendekati tempat tujuan, ketika matahari sudah mulai berjalan menuju peraduanya. Jalan setapak yang sepi tanpa aspal. Kemudian berbelok kiri ke jalan sempit yang terjal, namun kau sudah terlihat begitu terbiasa melewati jalan ini dengan variomu. Hembusan angin laut sudah membelai pipiku. Hingga kemudian sebuah pemandangan indah terbentang di depan mata.
Kita berada sekitar dua meter di atas tebing . Rumput hijau menghampar. Di ujung batas cakrawala, senja yang memerah memendarkan cahaya keemasan di laut.
“Kita ke bukit yang kecil itu,” katamu sambil menunjuk bukit kecil yang menjorok ke laut di sebelah selatan dari tempat kita berdiri. Langkah kaki kita melewati pantai berpasir putih, jalanan sedikit mendaki dan hanya jalan setapak. Hatiku sedikit menggigil ketakutan, menapaki jalan yang benar-benar hanya setapak. Setiap jengkal yang ku pijak adalah jalan penuh bebatuan licin. Ombak menghempas tebing yang jaraknya hanya satu meter dibawah kami berjalan. Sesekali buihnya menyapa kulit kakiku.
Kau berjalan di depanku dengan tenang. Ku pegang tas ransel yang berisi peralatan memancig kita. Dua temanmu berjalan di belakangku dengan tenang. Hatiku bernafas lega ketika akhirnya kaki kita menapak puncak bukit dengan rerumputan hijau.
Kita menghirup udara segar disini. Melepaskan segala ketegangan yang sempat ku lewati. Pemandangan alam yang sangat indah, diujung cakrawala matahari beradu dengan ujung permukaan laut. Seolah sedang berbisik dan memberi salam kepada alam jika dia hendak beristirahat untuk sementara waktu.
Kau tengok jam di pergelangan tanganmu, kita bergegas merapatkan shaft. Kita dalam sunyi, hanya deburan ombak dan angin laut yang menerbangkan ujung mukenaku seolah menjadi backsound atas kepasrahan kita dalam menghadapNya.
Kita mulai menuruni bukit mendekat ke tebing laut. Jalan setapak dengan batu karang yang agak licin. Tangan kananmu membawa joran pancing sedang tangan kirimu membawa seember hewan laut utuk umpan.
Aku duduk agak sedikit menjauh di belakangmu, malam mulai merangkak. Di langit bintang bertaburan, langit begitu cerah malam itu. Joran pancing kau selipkan di antara batu-batu karang, hingga bisa berdiri tegak tanpa kau pegang. Kemudian kau mundur dan duduk di sebelahku. Kita semua hanya terdiam, di kesunyian malam menikmati semesta. Dalam keremangan lampu tanah kupandang wajahmu yang sedikit tirus. Ada binar kebahagiaan di sana. Inilah duniamu yang kedua, dunia rangkaian kata adalah dunia mu yang pertama.
“Aku tak tahu apakah bisa menikmati malam seperti ini lagi di sini, bersamamu,” ucapmu tiba-tiba membelah kesunyian. Namun nadanya terdegar aneh di telingaku.
“Kenapa bilang begitu?” tanyaku.
“Hanya intuisi saja. Rasanya kamu akan semakin jauh nanti.”
Aku hanya melongo mendengar pernyataanmu. Sebuah pertanyaan ku lempar padamu untuk menghilangkan rasa gundah atas pernyataanmu.
“Hmm, mengapa suka memancing?” tanyaku
“Memancing akan melatih kesabaran. Terkadang kita sudah duduk berjam-jam tetapi tidak ada satu ikan pun yang memakan umpan kita. Begitulah hidup. Seperti dalam menulis, kita pun terkadang kehabisan ide. Kita mungkin lebih sering berputus asa, ketika naskah kita berkali-kali tidak layak muat di koran atau majalah. Berkali-kali ditolak penerbit. Tetapi suatu saat nanti akan ada massa ke emasan dalam hidup kita.”
Aku mengangguk-angguk menyetujui setiap katanya.
“Juga latihan pantang menyerah di keadaan paling sulit. badai. Disana kita sekuat tenaga untuk mempertahankan diri agar selamat.”
Tiba-tiba langit berubah pekat. Kilat mulai terlihat membelah laut tanpa henti. Sungguh Indah namun sekaligu menyeramkan. Kau berjalan mendekat kearahku, mengatakan jika kemungkinan badai sebentar lagi datang. Kita kemudian naik sebentar ke tenda mengambil mantel hujan dan segera mengenakannya.
Hujan sisertai angin kencang. Ombak semangkin kuat menghempas karang. Petir menyambar-nyambar tiada henti. Suaranya begitu menggelegar. Aku semakin menggigil di antara ketakutan dan kedinginan. Dua temanmu sudah naik ke tenda.
Kau pun mengajakku ke tenda. Umpan dan ikan yang termakan umpanmu kau bawa serta. Namun joran pancingmu yang masih tertancap di antara karang, kau tinggalkan disana.
Aku menatapmu menuruni bukit untuk mengambil joran yang kau tinggalkan di tepi tebing. Ombak tinggi, hujan lebat di sertai dengan angina kenncang menyambutmu. Siluet badanmu masih kulihat membungkuk diantara petir yang bersahut-sahutan membelah permukaan laut.
Sekedip mata, tak ku lihat bayangmu lagi. Aku terkesiap. Aku berteriak memanggil namamu. Namun suara gelegar petir mengalahkankannya. Aku masih berteriak memanggil namamu. Dua temanmu ikut turun mencarimu. Namun bayangmu tetap tak terlihat. Kau lenyap seketika.
Serak suaraku habis memanggil namamu. Airmataku luruh bersama hujan badai yang membasahi tubuhku. Aku hanya bisa tergugu.
“Kun, dimana kau kini?”. (end)
Tidak ada komentar
Posting Komentar