Kamis, 01 November 2018

(Part 1) Kelas Malam Minggu Bareng Daruz Armedian: Proses Kreatif Menulis Cerpen dan Puisi

Biarkan saya mengawali tulisan ini dengan satu pembuka dari seorang Daruz Armedian:

"Tak kenal maka tak sayang. Udah kenal gak bilang-bilang sayang."









*
*
*

Malam minggu ini (27/10/2018) kebetulan Nulis Aja Community kedatangan tamu istimewa. Kami mengundang seorang narasumber untuk berbagi pengalaman serta ilmu kepenulisan seputar proses kreatif menulis cerpen dan puisi.





Siapa guest star kita pada malam minggu yang spesial ini? Yuk, kenalan dulu.


"Daruz, cerita-cerita dulu dong tentang aktivitasmu sekarang. Sebagai mahasiswa semester 5, juga sekaligus sebagai editor, redaktur dan kontributor. Lagi nulis apa, lagi pacaran sama siapa (eh kamu pura-pura jomlo gak apa-apa malam ini)?" satu celoteh dari Rektor NAC, Mbak Hiday Nur, mengantarkan teman-teman NAC untuk mengenal narasumber secara lebih mendalam.


"Jadi editor itu berat, Mbak. Nyari kesalahan orang lain mulu." hanya sebaris kalimat itu saja yang terlontar.


Kelas kami buka tepat pukul 20:00 WIB. Ada kurang lebih 35 peserta yang hadir pada kelas on-line NAC malam ini. Ditambah narasumber menjadi 36 orang. Wah, cukup banyak ya, gaes?


Peserta tidak hanya datang dari teman-teman NAC saja. Tapi juga sebagian adalah teman-teman One Day One Post dan beberapa orang di luar komunitas. 


Berikut ini adalah hasil rekap diskusi kelas selama kurang lebih 120 menit bersama Daruz. Aku ambil yang sekiranya penting dan berbobot ya, gaes. Yang receh aku skip. Maaf banget kalau nggak bisa ter-cover semuanya.


Oh ya gaes, sedikit informasi. Daruz Armedian ini kuliah di jurusan Filsafat, lho. Jadi cara penyampaian bahasa dia sedikit berbeda dari kita.


Simak yuk.


***


[27/10, 20:11] Hiday Nur: Kapan kamu mulai pengen banget nulis? (Btw ini pertanyaan yang gak disukai Daruz, katanya.)

[27/10, 20:11] Daruz Armedian: Mulai SMA. Setelah kematian adik dan nenekku.


[27/10, 20:12] Daruz Armedian: Suka baca pas SMP. Pas dikasih buku dua kardus oleh kakakku.


***


[27/10, 20:13] Hiday Nur: Sebagai penulis pemula, apa yg kamu lakukan saat itu?

Teman2 pengen tau, kamu belajar nulis melalui proses apa dan bagaimana?


[27/10, 20:14] Daruz Armedian: Membaca buku apa saja. Soalnya, untuk menulis, tidak bisa tidak memang harus dimulai dengan membaca.


Setidaknya karena itu kita tahu bagaimana orang lain menyampaikan pendapat lewat tulisan.

***


[27/10, 20:15] Hiday Nur: Aku dengar kamu banyak belajar daring dan luring. Daring dari mana aja, luring dari siapa aja?


[27/10, 20:16] Daruz Armedian: Daring, mungkin temen-temen ada yg pernah denger Komunitas Pedas? Penulis dan Sastra? Aku banyak belajar dari situ. Sama mbak Vero.


Di KBM juga pernah ikut gabung. Tapi hanya sebagai silent reader.


Untuk luring, aku belajar di Komunitas Kutub. Pesantren menulis yg ada di Jogja.


[27/10, 20:18] Dymar Mahafa: Bisa dijelaskan lebih detail kak, tentang Komunitas Pedas dan yg lain2?


[27/10, 20:19] Daruz Armedian: Di sana diajari paling dasar dulu sih. Soal ejaan. PUEBI.


***


[27/10, 20:18] Daruz Armedian: Semua ini bermula ketika kiriman buku dua kardus datang dari kakakku. Ketika itu aku kelas 3 SMP. Sebenarnya, ini tidak menjadi perubahan yang drastis bagiku jika seandainya sejak dahulu desaku, atau kecamatanku, atau sekolahanku, menyediakan perpustakaan. Tempat-tempat yang aku sebutkan tadi tidak punya perpustakaan. Sehingga, ketika buku-buku dari kakakku datang, aku menyambutnya dengan meriah dan riang tak kepalang.

Aku menyukai bacaan, setidaknya itu bagiku sendiri. Dan hal itu bisa aku buktikan dengan Lembar Kerja Siswa yang tidak pernah kosong, penuh coretan, dan soal-soal baik dalam bentuk pilihan ganda maupun esai di dalamnya sudah banyak yang aku isi. Atau, bangganya aku ketika Ibu berbelanja dan barang belanjaan dibungkus dengan koran dan aku membacanya secara berulang-ulang. Atau, ketika perjalanan jauh, menaiki mobil atau bus, aku sering sekali membaca papan iklan di pinggir-pinggir jalan.


Ketika Kakak mengirimiku buku sejumlah dua kardus dan ketika terus menerus membacanya, aku langsung memutuskan untuk belajar menulis. Yang paling aku ingat adalah, aku menulis karena ingin bisa seperti Andrea Hirata. Aku terinspirasi dari novel Laskar Pelangi. Setelah itu aku membaca buku karangan Dewi Lestari, Ahmad Fuadi, Habiburrahman Elsyirazi, Tere Liye, Agnes Danovar, Raditya Dika, dan penulis-penulis populer lainnya. 


Beranjak ke SMA, aku benar-benar belajar menulis. Dan yang aku tulis pertama kali adalah cerpen dan novel. Itu adalah masa-masa paling sulit dalam perjalanan kepenulisanku. Aku menulis sendirian dan tentu saja tidak ada yang mengajariku. Aku buta terhadap apa pun yang berkenaan dengan kepenulisan.


***


[27/10, 20:18] MS Wijaya: Innalillahi wainnailaihi rajiun. Berarti menulis untuk pelampiasan emosi ya Kak..

[27/10, 20:18] Daruz Armedian: Waktu itu iya. Ya nulis diary aja.


[27/10, 20:21] Daruz Armedian: Semua penulis aku rasa mulai menulis pertama kali ya dalam bentuk curhat. Soalnya kemampuannya ya hanya sebatas curhat dulu. Baru kemudian beralih ke tulisan-tulisan yang lain.


[27/10, 20:22] Daruz Armedian: NB: curhat di sini bisa dalam bentuk puisi atau cerpen atau tulisan-tulisan yang lain.


[27/10, 20:22] Daruz Armedian: Kalau cerpen juga yang bentuknya curhat maksudku. Novel juga.


***


[27/10, 20:20] ‪Maratul Muflihatin‬: Kak, semua tulisan non fiksi puisi misalnya kata2 yang digunakan apakah wajib ada di KBBI?

[27/10, 20:21] Daruz Armedian: Nggak harus. Tapi sebagai pemula, kita tentu harus tahu kalau kata-kata kita ada di KBBI.


***


[27/10, 20:23] Hiday Nur: Yang kamu bilang tahun2 yg berat itu, menurutmu berapa lama kamu melewatinya?

[27/10, 20:24] Daruz Armedian: Aku menulis cerpen dan novel semauku tanpa kode etik tertentu. Ya, bisa dikatakan bukan cerpen atau novel sebenarnya. Mirip curhat. Mirip catatan harian anak-anak sekolahan sewajarnya.


Ketika tahu aku sedang gandrung sekali dengan kegiatan menulis, Kakak mengirimiku buku lagi. Satu kardus. Di situ, aku menemukan buku-buku cerpen pilihan Kompas, kumpulan puisi yang aku sudah lupa siapa pengarangnya, buku-buku kiri dan buku-buku ekstrimis kanan, buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, dan buku-buku yang bagiku waktu itu lebih rumit memahaminya ketimbang novel-novel populer.


[27/10, 20:25] Daruz Armedian: Selama ada di kampung. Soalnya waktu itu benar-benar sendirian. Gak ada teman yg memberi masukan. Misalnya: kamu harus baca ini baca itu.


[27/10, 20:32] Daruz Armedian: Dari itu aku makin rajin menulis. Terutama cerpen. Mulai meniru gaya-gaya bagaimana cara orang lain menulis (aku masih ingat nama-nama pengarang cerpen yang ikuti gaya menulisnya: Agus Noor, Phutut Ea, Eka Kurniawan, Seno Gumira Ajidarma, Danarto). Meskipun ya begitu, buruk sekali. Baik secara teknis (karena tidak mengerti EBI dan kalimat-kalimat yang logis) maupun isi cerpen itu sendiri.  


Di pertengahan kelas 2 SMA, aku berhenti menulis. Itu karena aku merasa bahwa apa yang aku tulis sebenarnya sia-sia. Malah merusak nilai akademikku. Aku, baik di SD maupun di SMP, selalu rangking di kelas. Entah rangking satu, dua, atau tiga. Dan semenjak SMA, semenjak membaca buku-buku selain pelajaran, aku tidak pernah mengurusi rangking. Aku tertelan oleh dunia bacaanku sendiri. Rangkingku anjlok drastis. Aku kena marah dari orangtua. Orangtua marah karena mereka yang membiayai sekolahku. Ini tentu hal yang wajar bagiku.


[27/10, 20:35] Daruz Armedian: Sebenarnya bukan karena itu saja aku berhenti menulis. Tetapi lebih karena aku merasa menulis itu benar-benar sulit. Aku tidak punya sandaran, tidak ada orang yang mendorong, atau minimal orang yang menjadi acuanku menulis.


Di akhir kelas 3 SMA, aku mulai menulis lagi. Aku merasa di sekolahan sudah tidak punya tanggungan lagi. Tinggal menunggu kelulusan. Tinggal menunggu bagaimana aku merengkuh kebebasan.


Lalu aku berangkat ke Gresik dan bekerja sebagai penunggu warnet. Di sana, aku latihan ngetik menggunakan komputer. Dan tentu saja juga membaca tulisan-tulisan di media daring. Pada suatu waktu ketika masih di Gresik, aku mencari tahu komunitas menulis lewat Google. Di situlah aku menemukan Komunitas Kutub. Dua bulan kemudian aku berangkat ke Jogja dan bergabung dengan Komunitas Kutub, komunitas yang didirikan oleh almarhum KH. Zainal Arifin Thoha.


Di Jogja, aku seperti menemukan surga. Bacaan sangat banyak, ruang-ruang diskusi buku juga banyak. Aku menulis, membaca, menulis, membaca, sampai akhirnya tidak begitu sadar, ternyata sudah empat tahun aku di Jogja.


***


[27/10, 20:25] MS Wijaya: Apa alasan Kak Daruz tetap menulis sampai saat ini?

[27/10, 20:26] Daruz Armedian: Ada beberapa alasan. Pertama, untuk healing atau penyembuhan. Aku gak tahu ya. Tapi aku setuju perkataan Zizek, menulis menyelamatkan hidupku.


[27/10, 20:27] Daruz Armedian: Kedua, karena bisa menulis ini aku bisa jadi editor dan itu lumayanlah untuk nyambung kehidupan.


[27/10, 20:27] ‪Atikah Bakir‬: Healing?

Menarik😊

[27/10, 20:29] Daruz Armedian: Ya. Banyak orang menulis untuk dirinya sendiri. Mungkin bisa sebagai teman ketika sendirian. Kesepian atau kondisi yang tidak mengenakkan.


***


[27/10, 20:27] Maratul Muflihatin: Karya milik kakak yg paling berkesan bagi Kak Daruz apa?

[27/10, 20:28] Daruz Armedian:

http://basabasi.co/bagaimana-kalau-kita-saling-membunuh-saja/

[27/10, 20:29] Hiday Nur: Kenapa kamu paling suka ini? Semacam transformasi dalam gaya kepenulisanmu atau kenapa?


***


[27/10, 20:28] MS Wijaya: Selama ini hanya menulis cerpen dan puisi aja kah?

[27/10, 20:30] Daruz Armedian: Akhir-akhir ini garap novel. Ada dua judul yang sampai pertengahan: "Perempuan Tak Pernah Patah Hati" Lalu, "Bagaimana Kesepian Membuatmu Mati Perlahan".


[27/10, 20:30] MS Wijaya: Berarti fokus ke genre fiksi aja...


[27/10, 20:31] Daruz Armedian: Ya. Fokusnya memang fiksi. Kalaupun nulis non-fiksi, itu untuk sampingan kalau lagi bosen sama fiksi.


[27/10, 20:32] MS Wijaya: Biasanya nulis apa kalau nonfiksi?


[27/10, 20:33] Daruz Armedian: Resensi atau esai.


***


[27/10, 20:34] Daruz Armedian: Aku usahakan untuk menulis apa pun tiap hari 200 kata (minimal). Untuk pembiasaan menulis saja. Kalau aku bingung mau nulis apa, maka aku nulis alasan kenapa aku bingung. Atau paling tidak, menulis tentang kebingungan itu.

Proses menulis ada dua tahapan. Pertama pembiasaan. Kedua peningkatan. Kalau terbiasa menulis saja belum, masa mau langsung ke tahap peningkatan?


Maksudku gini. Banyak orang kesulitan menulis hanya karena berpikir kalau ini udah ditulis orang lain. Bahasa ini udah digunakan orang lain. Atau, berpikiran kalau aku ingin menulis sesuatu yang bagus, yang belum pernah ada di dunia.


[27/10, 20:39] Dymar Mahafa: Nah, bener banget kak. Rasanya kadang bosen sama diksi pribadi.


[27/10, 20:40] Daruz Armedian: Yak betul.


***


[27/10, 20:34] MS Wijaya: Dari 2 kardus buku yang dikirimkan oleh kakaknya. Apa yang paling berkesan, dan pengen buat seorang Daruz ingin menulis?

[27/10, 20:35] Daruz Armedian: Kesedihan. Wkwkwkwk.


[27/10, 20:36] Daruz Armedian: Ya hampa aja waktu itu. Biasanya ada yg ramein hari-hariku: nenek dan adikku. Tiba-tiba mereka pergi gitu aja.


[27/10, 20:38] MS Wijaya: Kalau dari buku ada nggak faktornya yang membuat pengen nulis buku seperti itu?


[27/10, 20:38] Daruz Armedian: Secara spesifik gak ada. Atau belum ada.


***


Kemudian Daruz berbalik mengajukan pertanyaan kepada semua yang hadir di kelas, yang kemudian dijawab oleh beberapa teman-teman yang hadir. Baik banget, ya. Orangnya juga rendah hati.


[27/10, 20:41] Daruz Armedian:

Ini kalian sudah nulis apa aja nih?

***


Nah, kalau kalian gimana? Udah nulis apa aja hari ini? 😊


***


Bersambung lagi di part 2, ya. Don't miss it. 😉

***




Special thanks to: Mbak Hiday Nur.


Postingan ini dipersembahkan untuk:
1. One Day One Post Community
2. Nulis Aja Community
3. Para pembaca blog NAC yang terkasih

2 komentar

© Sanggar Caraka
Maira Gall